Ketangguhan tiga panglima perang Mu’tah
Singkatnya, pasukan Islam yang berjumlah 3000 personel
diberangkatkan. Ketika mereka sampai di daerah Ma’an, terdengar berita
bahwa Heraklius mempersiapkan 100 ribu pasukannya. Selain itu, kaum
Nasrani dari beberapa suku Arab pun telah siap dengan jumlah yang sama.
Mendengar kabar demikian, sebagian sahabat mengusulkan supaya meminta
bantuan pasukan kepada Rasulullah atau beliau memutuskan suatu perintah.
Abdullah bin Rawahah lantas mengobarkan semangat juang para Sahabat
pada waktu itu dengan perkataannya, “Demi Allah, sesungguhnya perkara
yang kalian tidak sukai ini adalah perkara yang kamu keluar mencarinya,
yaitu syahadah (gugur di medan perang di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala). Kita itu tidak berjuang karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala
telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari
dua kebaikan: kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”
Orang-orang menanggapi dengan berkata, “Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar.”
Zaid bin Haritsah, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan
dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi anak panah-anak panah
pasukan musuh sampai akhirnya tewas terbunuh di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib. Sepupu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera beliau pegangi
dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh senjata musuh. Dalam
kondisi demikian, semangat beliau tak mengenal surut, saat tetap
berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai beliau
gugur oleh senjata lawab. Berdasarkan keterangan Ibnu Umar, salah
seorang saksi mata yang ikut dalam perang itu, terdapat tidak kurang 90
luka di bagian tubuh depan beliau baik akibat tusukan pedang dan maupun
anak panah.
Giliran Abdullah bin Rawahah pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun menjemput beliau di medan peperangan.
Tsabit bin Arqam mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan
berteriak memanggil para sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang
memimpun kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin
Walid. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi –setelah
taufik dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala—kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian banyak.
Jumlah syuhada perang Mu’tah
Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum muslimin
dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara
Romawi dan Nashara Arab, secara logis, kekalahan bakal dialami oleh para
Sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Ibnu katsir mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala
melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin
dengan berkata, “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan
bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang
berjuang di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dengan kekuatan
3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu
pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara
Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya,
hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin, padahal, jumlah
korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak.” Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah
berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan
golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah: 249)
Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah
syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka tidak banyak. Hanya
berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal,
peperangan Mu’tah sangat sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin
Walid menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Kesembilan
pedang itu patah. Hanya satu pedang yang tersisa, hasil buatan Yaman.
Khalid berkata, “Telah patah sembilan pedang di tanganku. Tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.” (HR. Al-Bukhari 4265-4266)
Menurut Imam Ibnu Ishaq – imam dalam ilmu sejarah Islam –, syuhada
perang Mu’tah hanya berjumlah 8 sahabat saja. Secara terperinci, yaitu
Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam Zaid bin Haritsah Al-Kalbi, Mas’ud bin Al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah Al-Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh.
Sementara dari kalangan kaum Anshar, Abdullah bin Rawahah, Abbad bin
Qais Al-Khazarjayyan, Al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah
an-Najjari, Suraqah bin Amr bin Athiyyah bin Khansa Al-mazini.
Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam dengan berlandaskan keterangan Az-Zuhri, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua
orang ini saudara sekandung. Diitambah Amr bin Amir putra Sa’d bin
Al-Harits bin Abbad bin Sa’d bin Amir bin Tsa’labah bin Malik bin Afsha.
Mereka juga berasal dari kaum Anshar. Dengan ini, jumlah syuhada
bertambah menjadi 12 jiwa.
Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita untuk meneladani semangat juang mereka di jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Meskipun kondisi berat lantaran jumlah personel yang sedikit, namun hal
itu tidak mengendurkan langkah mereka untuk terus berjihad di jalan
Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a’lam.