Assalaamu’alaikum wr. wb.
- Apakah mushaf Al qur’an yang pertama kali tersusun sama urutan suratnya dengan mushaf al-Qur’an yang sekarang?
- Bagaimana sejarah mushaf al-Qur’an itu?
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Bismillah, Washshaltu Wassalamu ‘ala Rasulillah, Waba’du
- Benar, mushaf Al qur’an yang pertama kali disusun memang sama urutan surat nya dengan mushaf Al qur’an yang sekarang.
- Sejarah Pengumpulan Qur’an.
Sejarah pengumlpulan Al-Qur’an menjadi tiga period:
a. Pengumpulan dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi
Rasullullah
telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat
terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, ‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit,
bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan
tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu
membantu penghafalan di dalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun
menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa
diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma ,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan
tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit, “Kami menyusun Qur’an
dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.”
Jibril
membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan Ramadan
setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas berkata, “Rasulullah adalah orang
paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan Ramadan, ketika ia
ditemui oleh Jibril. Ia ditemui oleh Jibril setiap malam; Jibril
membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril
itu ia sangat pemurah sekali. Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an
kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.”
Tulisan-tulisan
Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf; yang ada pada
seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan
bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin
Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah
menghafalkan seluruh isi Qur’an di masa Rasulullah. Dan mereka
menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali
membacakan Qur’an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di
atas.
Rasulullah
berpulang ke rahmatullah di saat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam
mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan
surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan
setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf.
Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh
(lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan
ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan
membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti
turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping
itu terkadang pula terdapat ayat yang menasikh (menghapuskan) sesuatu
yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak
menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan
ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa
ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi)
Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu
mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun
lagi. Az-Zarkasyi berkata, “Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf
pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu,
penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu
dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan
pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit
yang mengatakan, “Rasulullah telah wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan
sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum
dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata,
“Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia
senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau
bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah,
maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para
Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini
tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya
pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.”
Pengumpulan Qur’an dimasa Nabi ini dinamakan: a) penghafalan, dan b) pembukuan yang pertama.
b. Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar
menjalankan urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada
peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang
Arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk
memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi
pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an.
Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin
Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu
Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan
Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah
banyak membunuh para qarri’.
Abu Bakar
menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah
membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut, kemudian
Abu Bakar nenerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam
qiraat, penulisan pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada
pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya
kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya
Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya
Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu.
Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada
hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para
penulis. Kemudian lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan ditangan Abu
Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu
berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat.
Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafsah putri Umar. Pada permulaan
kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan Hafsah.
c. Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua.
Pengumpulan Qur’an pada masa Usman.
Penyebaran Islam bertambah dan para qurra
pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu
mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka.
Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda
sejalan dengan perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa
bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan,
sebag ian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini.
Terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa
perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi
keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada
generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan
bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya
akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan
menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini
harus segera diselesaikan.
Ketika
terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara
orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman.
Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Qyr’an. Sebagian
bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing
memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap
orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan.
Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan
melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga
memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan
terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak.
Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan
dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena
takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan
perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang
pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada
lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Usman
kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu
Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu
kepadanya. Kemudian Usman memanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah
bin Zubair, Said bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Ketiga
orang terkahir ini adalah orang Quraisy, lalu memerintahkan mereka agar
menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang
diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam
bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas,
bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman, ia pernah ikut
berperang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azarbaijan bersama
dengan penduduk Iraq. Huzaifah amat terkejut dengan perbedaan mereka
dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Usman, “Selamatkanlah umat ini
sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab)
sebagaimana perselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.” Usman kemudian
mengirim surat kepada Hafsah yang isinya, “Sudilah kiranya anda
kirimkan lemgbaran-lembaran yang berisi Qur’an itu, kami akan
menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan
mengembalikannya.” Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman
memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Mereka pun
menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang
Quraisy itu, “Bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit
tentang sesuatu dari Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy karena
qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy.”
Mereka
melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi
beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada
Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut
dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid
berkata, “Ketika kami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari
surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah; maka
kami mencarinya, dan aku dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari,
ayat itu ialah:
Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.’ (al-Ahzab: 23)
lalu kami tempatkan ayat ini pada surah tersebut dalam mushaf.”
Berbagai
atsar atau keterangan para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara
membaca itu tidak saja mengejutkan Huzaifah, tetapi juga mengejutkan
para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn Jarir: ‘Ya’kub bin Ibrahim
berkata kepadaku: Ibn ‘Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan
kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: Pada masa kekahlifahan Usman telah
terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru
qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak
yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan
hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata A yyub:
aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘sehingga mereka saling
mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu,’ dan hal itu
akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia berpidato: ‘Kalian yang ada
di hadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Qur’an.
Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan
kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk
semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman) saja!’
Abu Qalabah
berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya : ‘aku adalah salah
seorang di antara mereka yang disuruh menuliskan,’ kata Abu Qalanbah:
Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan
kepada seseorang yang telah menerimnya dari Rasulullah. Akan tetapi
orang tadi mungkin tengah berada di luar kota, sehingga mereka hanya
menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah serta memniarkan tempat
letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan
mushaf telah selesai, Kahlifah Usman menulis surat kepada semua penduduk
daerah yang sisinya: ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian.
Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang
ada padamu.’
Ibn Asytah
meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah, keterangan yang sama. Dan
Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah
meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif.
Suwaid bin
Gaflah berkata: ‘Ali mengatakan: ‘Katakanlah segala yang baik tentang
Usman. Demi Allah apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf
Qur’an sudah atas persetujuan kami. Usman berkata : ‘Bagaimana
pendapatmu tentang qiraat ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian
mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari qiraat orang lain. Ini
telah mendekati kekafiran. Kami berkata: ‘Bagaimana penadapatmu? Ia
menjawab: ‘Aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf,
sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata:
Baik sekali pendapatmu itu.
Keterangan
ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh
para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari
tujuh huruf Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam
satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli
kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu
masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk di Madinah,
yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”.
Penamaan
mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana
ia mengatakan: “Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk
semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).” Kemudian ia
memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menerima
perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya
ditingalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf
itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh
huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir
sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini
menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori
keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari
ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir
mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia
menyatukan umat islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf
yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang
mempunyai mushaf “berlainan” dengan mushaf yang disepakati itu membakar
mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat
bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan
sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf
lainnya sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai
bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan
mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain
sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang
sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf
itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang
lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya, tetapi
hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada
lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang
telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak
ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apa bila
sebagian orang lemah pengetahuan berkata: Bagaimana mereka boleh
meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan
diperintahkan pula membaca dengan cara itu? maka jawabnya ialah:
‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu
bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan
kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh
huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap
huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula bagi orang yang mempunyai hujjah
untuk menyampaikannya, bertanya harus pasti dan keraguan harus
dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal
tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka
boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an di kalangan
umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf
itu.
Jika memang
demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas
menyampaikan semua qiraat yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban
bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah
mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut
ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu
menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari
pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap
islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.”
d. Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Dari
teks-teks di atas jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf oleh) Abu Bakar
berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya.
Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena
banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan
korban dari para qari. Sedang motif Usman dalam mengumpulkan Qur’an
ialah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang
disaksikannnya sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan
antara satu dengan yang lain.
Pengumpulan
Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau
catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang,
dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan
ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu
mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan
yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana
ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan
pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya menjadi satu huruf
diantar ketujuh huruf itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu
mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibnut
Tin dan yang lain mengatakan: “Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar
dan Usmanialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan
oleh kekawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an karena kematian para
penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul disatu tempat.
Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan
menertibkan ayat-ayat dan surahnya. Sesuatu dengan petunjuk Rasulullah
kepada mereka. Sedang pengumpulam Usman sebabnya banyaknya perbedaan
dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka
masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling
menyalahkan, karena kawatir akan timbul bencana, Usman segera
memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu dalam satu mushaf dengan
menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa quraisy
saja dengan alasan bahwa qur’an diturunkan dengan bahasa mereka
(quraisy).
Sekalipun
pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain quraisy
guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah
berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja.
Al-Haris al-Muhasibi mengatakan: “Yang masyhur di kalangan orang banyak
ialah bahwa pengumpul Qur’an itu Usman. Pada hal sebenarnya tidak
demikian, Usman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam
(wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum
muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya.serta setelah ada
kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena
penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf
itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf
dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan
Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq.”
Dengan
usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan
mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Qur’an dari penambahan
dan penyimpangan sepanjang zaman. (Eramuslim)
Wallahu a’lam bishshawab Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Ahmad Sarwat, Lc.