Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Dengan dibebaskannya kota Makkah,
jatuhlah sudah kerajaan berhala di ranah hijaz. Bangsa ‘Arab mulai
tunduk kepada Islam, dan mereka berduyun-duyun masuk ke dalamnya. Suku
Hawazin yang mendengar peristiwa itu, merasa khawatir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan
mengerahkan pasukan kepada mereka. Mereka pun bersatu untuk menyerang
beliau. Peristiwa ini pun meletus di Hunain, sebuah lembah yang terletak
antara Makkah dan Thaif, pada bulan Syawwal tahun ke-8 Hijrah.
Sebab-sebab Peperangan
Setelah Allah Subhanahuwata’la memberi kemenangan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kaum mukminin dengan takluknya Makkah, serta tunduknya masyarakat
Quraisy, penduduk Tsaqif dan Hawazin pun ketakutan. Mereka yakin bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentu akan menyiapkan pasukan menyerang mereka. Maka sebelum itu terjadi, mereka bertekad untuk mendahului serangan.
Akhirnya mereka bersepakat untuk itu dan
mengangkat Malik bin ‘Auf An-Nashry sebagai panglima perang. Dia
seorang pemuda berusia sekitar 30 tahun dan dikenal sebagai ahli perang.
Maka berkumpullah suku Hawazin, Tsaqif, Bani Hilal, Bani Jusyam, dan
lain-lain. Di antara mereka ada Duraid bin Ash-Shimmah yang terkenal
sangat ahli dalam peperangan, pendapat dan taktiknya sangat jitu. Tetapi
dia sudah sangat tua dan buta, sehingga hanya dapat memberikan saran
dan arahan.
Adapun strategi yang diatur oleh Malik,
sangat berbeda dengan keinginan Duraid. Malik berpendapat agar mereka
membawa serta semua anak dan istri mereka berikut harta benda mereka.
Menurut Malik, apabila seorang prajurit mengetahui sesuatu yang berharga
dalam hidupnya (keluarga dan harta) ada di belakangnya, kalaupun
terjadi kekalahan, dia tidak akan mungkin meninggalkan mereka jatuh ke
tangan musuh. Sehingga dia akan berjuang sampai mati mempertahankan
harta dan keluarganya.
Ketika hal ini didengar oleh Duraid, dia
bertanya kepada Malik: ”Ada apa ini, saya mendengar suara anak-anak,
kaum wanita, dan binatang ternak dalam pasukanmu?”
Kata Malik: ”Saya ingin menempatkan di
belakang setiap laki-laki ada anak, istri, dan harta mereka agar dia
berperang mempertahankannya.”
Duraid berkata mencemooh: ”(Itulah)
penggembala kambing, demi Allah. Bukan untuk perang. Apakah itu akan
dapat membela orang yang kalah? Sungguh, kalau kau menang itu semua
tidak berguna bagimu selain laki-laki dan senjata. Kalau kau kalah,
berarti kau telah mempermalukan keluarga dan hartamu.”
Tapi Malik tetap dengan pendiriannya.
Bahkan mengancam: ”Wahai masyarakat Hawazin, kalau kalian tidak
menaatiku, aku akan bunuh diri di depan kalian.”
Orang-orang Hawazin terkejut, mereka
berbisik satu sama lain: ”Kalau kita tinggalkan Malik, dia bunuh diri
padahal dia masih muda. Tapi kalau kita ikuti Duraid, dia sudah tua,
tidak ada lagi perang bersama dia.”
Akhirnya mereka memilih Malik. Kemudian
Malik berorasi membakar semangat pasukannya: ”Sungguh, Muhammad (n)
belum pernah berperang sama sekali sebelum ini. Selama ini dia hanya
melawan orang-orang yang tidak mengerti bagaimana berperang, sehingga
bisa mengalahkan mereka. Maka jika kamu bertemu mereka pecahkan sarung
pedang kamu dan seranglah mereka secara serentak dan tiba-tiba!!”
Akhirnya mereka pun berangkat membawa
serta puluhan ribu ekor unta. Malik memerintahkan agar kaum wanita dan
anak-anak diletakkan di atas unta-unta tersebut. Dengan cara ini, Malik
sudah menjatuhkan mental lawan yang melihatnya karena mereka akan
mengira di belakangnya ada ratusan ribu pasukan. Taktik ini adalah salah
satu sebab kemenangan Hawazin pada awal pertempuran.
Malik membawa pasukannya hingga tiba di
lembah Hunain. Daerah ini sudah sangat dikenal oleh Malik sehingga dia
dengan mudah menempatkan pasukannya untuk memusnahkan kaum muslimin
dengan sekali serangan.
Malik mulai membagi pasukannya. Lembah
dan bukit-bukit di sekitarnya menjadi tempat persembunyian dan jebakan
yang sangat kuat. Apabila lawan terpancing masuk ke perut lembah, maka
pasukannya yang ada di kanan kiri bukit akan menghujani mereka dengan
panah dan batu. Apalagi prajurit Hawazin terkenal ahli panah dan tombak.
Persiapan Kaum Muslimin
Sebelum berangkat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk
‘Attab bin Usaid bin Abil ‘Uaish bin Umayyah yang ketika itu berusia
sekitar 20 tahun tinggal di kota Makkah sebagai kepala pemerintahan dan
Mu’adz bin Jabal sebagai pengajar bagi penduduk Makkah.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
mendengar rencana penyerangan Hawazin ini, beliau mengirim ‘Abdullah
bin Abi Hadrad sebagai mata-mata mengintai sejauh mana kesiapan
orang-orang kafir tersebut. Lalu berangkatlah ‘Abdullah dan tinggal di
tengah-tengah mereka sehari semalam atau lebih.
Tak lama, ‘Abdullah kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
menceritakan apa yang dilihatnya. Tetapi bisa jadi informasi yang
disampaikannya tidak lengkap. Ada beberapa hal yang tidak tersampaikan
oleh ‘Abdullah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk
taktik perang yang akan dilancarkan oleh Malik. Sehingga ketidaktahuan
akan hal ini menjadi salah satu sebab mundurnya pasukan muslimin pada
awal pertempuran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mulai
menyiapkan pasukan. Terkumpullah 10.000 orang yang sebelumnya ikut
bersama beliau dari Madinah untuk membebaskan Makkah. Kemudian ditambah
dua ribu orang dari penduduk Makkah yang baru masuk Islam.
Beliau juga meminjam beberapa puluh baju
besi dan senjata kepada Shafwan bin Umayyah dan Naufal bin Al-Harits
yang ketika itu masih musyrik.
Kisah Dzatu Anwath
Dahulu, orang-orang kafir Quraisy dan
bangsa ‘Arab lainnya mempunyai sebatang pohon sidr (bidara) yang sangat
besar bernama Dzatu Anwath. Kebiasaan mereka dahulu, selalu
menziarahinya setiap tahun dan menggantungkan senjata mereka di atas
pohon itu, mengharapkan berkahnya. Mereka juga melakukan penyembelihan
hewan korban dan tirakat selama satu hari di bawah pohon itu.
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ n لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ
لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا
أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ
أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ :n سُبْحَانَ
اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى: اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا
لَهُمْ آلِهَةٌ؛ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ
كَانَ قَبْلَكُمْ
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat
menuju Hunain, mereka melewati sebatang pohon yang dipuja oleh kaum
musyrikin bernama Dzatu Anwath. Mereka menggantungkan di atasnya
senjata-senjata mereka.
Maka mereka pun berkata: “Ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka punya Dzatu Anwath.”
Mendengar perkataan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berseru: “Subhanallah
(Maha Suci Allah). Ini adalah ucapan yang sama seperti diucapkan Bani
Israil: ’Buatlah untuk kami sebuah sesembahan sebagaimana mereka
mempunyai beberapa sesembahan’.”
“Sungguh ini betul-betul sunnah. Kamu
sungguh-sungguh akan mengikuti sunnah (jalan hidup) orang-orang sebelum
kamu, sedemikian rapatnya.”
Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang
selama ini hidup di lingkungan yang rusak, lalu berpindah dari
lingkungan tersebut, masih tersisa dalam dirinya sebagian dari
lingkungan buruk itu. Apalagi yang belum lama meninggalkan lingkungan
buruk tersebut. Dan kita mesti ingat, kalau para sahabat yang baru masuk
Islam saja demikian keadaannya, padahal mereka langsung di bawah
bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka bagaimana dengan orang-orang yang datang sesudah mereka, yang lebih jahil dan lemah dari mereka.
Kenyataan ini juga menunjukkan kepada
kita betapa jeleknya kejahilan (terhadap ilmu agama). Seseorang dapat
saja terjerumus ke dalam kesyirikan karena kejahilannya.
Pernyataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
perkataan mereka itu adalah sunnah yang pernah dijalani oleh umat
sebelumnya, memberi pengertian pula bahwa sebab yang menjerumuskan
mereka dalam perbuatan syirik ini adalah tasyabbuh (meniru) kepada apa yang dianut oleh orang banyak (ketika itu).
Dari kisah ini pula kita pahami batilnya tabarruk
(meminta berkah) kepada pohon-pohn kayu dan batu, karena itu semua
adalah kesyirikan. Apalagi Nabi Musa ‘Alaihissalam berkata, sebagaimana
firman Allah Subhanahuwata’ala:
أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَٰهًا
“Patutkah aku mencarikan sesembahan untuk kamu yang selain daripada Allah.” (Al-A’raf: 140)
Demikian pula ungkapan yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Beliau menyamakan ucapan sebagian sahabat yang baru masuk Islam itu
sama seperti perkataan Bani Israil kepada Nabi Musa; karena itulah
hakikat kesyirikan meski lafadznya berbeda.
Seperti ini juga yang dilakukan oleh
para penyembah kubur. Yaitu orang-orang yang meminta syafaat, berkah,
rezeki, jabatan, dan sebagainya kepada para penghuni kubur. Mereka
mengatakan bahwa perbuatan mereka adalah tawassul dan mencintai wali,
bukan syirik. Padahal sesungguhnya, para wali Allah Subhanahuwata’ala
tidak ridha diperlakukan demikian oleh mereka.
Dari kisah ini juga kita lihat para
sahabat dan Bani Israil tidak dikafirkan. Sebab, mereka segera berhenti
dan tidak mewujudkan apa yang mereka minta kepada dua rasul yang mulia
ini. Seandainya mereka tetap melanjutkan apa yang mereka minta, niscaya
mereka jatuh kepada kekafiran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat dari Makkah pada hari Sabtu di bulan Syawwal tahun ke delapan hijrah.
Menyusun barisan Muslimin
Setelah mendekati wilayah pertahanan musuh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mulai menyusun barisan para sahabatnya dan menyerahkan bendera kepada beberapa orang Muhajirin dan Anshar:
- Bendera Muhajirin dipegang oleh ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu anhu
- Bendera juga dipegang oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu
- Satu bendera diserahkan kepada Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu
- Bendera Khazraj dipegang oleh Hubaib bin Al-Mundzir radhiyallahu anhu
- Sedangkan bendera Aus dipegang oleh Usaid bin Hudhair radhiyallahu anhu
Rasulullah n juga menyusun barisan
kabilah-kabilah ‘Arab dan menyerahkan bendera kepada mereka. Pada waktu
itu beliau mengenakan dua lapis baju perang, topi baja, dan menaiki
bighalnya, Duldul. Di bagian depan pasukan, beliau menempatkan Khalid
bin Al-Walid radhiyallahu anhu .
Sementara itu, Malik bin ‘Auf mengirimkan mata-matanya mengintai kekuatan kaum muslimin bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Para pengintai itu kembali dalam keadaan ketakutan dan menyarankan agar
pasukan Hawazin kembali. Malik menjadi marah dan menuduh mereka
pengecut serta menahan mereka di dekatnya agar tidak menimbulkan
keresahan di tengah-tengah pasukan.
Serangan mendadak
Begitu tiba di Hunain dan mulai
menyusuri lembah, masih dalam keremangan subuh, pasukan Hawazin secara
serempak dan tiba-tiba menyerang kaum muslimin yang belum bersiap
sepenuhnya. Ternyata pasukan Hawazin telah bersembunyi lebih dahulu di
balik-balik bukit lembah Hunain. Mereka betul-betul menjalankan strategi
Duraid bin Ash-Shimmah untuk melakukan serangan mendadak dan serempak.
Mendapat serangan mendadak ini, meskipun
tersentak, kaum muslimin dapat juga melakukan pembalasan dan menyerang
mereka dengan hebat. Akhirnya pasukan musuh kewalahan dan melarikan diri
serta meninggalkan kaum muslimin dengan ghanimah yang cukup banyak.
Kejadian ini mungkin persis dengan peristiwa Uhud, sebelum mereka
dihabisi oleh pasukan berkuda yang ketika itu dipimpin oleh Khalid bin
Al-Walid.
Kaum muslimin akhirnya sibuk dengan
ghanimah, lupa jalannya pertempuran dan lengah, padahal musuh belum
ditumpas seluruhnya, dan mereka masih bersembunyi.
Melihat keadaan ini, pasukan musuh mulai
melancarkan serangan mematikan. Ratusan panah dan tombak bahkan
batu-batu meluncur bagai hujan yang sangat deras menyerang kaum
muslimin. Jeritan kematian berkumandang, pekik kesakitan terdengar riuh.
Sebagian pasukan muslimin melarikan diri meninggalkan gelanggang
pertempuran. Mereka terus berlari kocar-kacir meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan beberapa gelintir sahabatnya, di antaranya Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu anhuma. Sementara itu, kendali bighal beliau dipegang oleh saudaranya Abu Sufyan bin Al-Harits bersama ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu anhuma.
Pasukan kaum muslimin semakin terdesak. Kekalahan mulai membayang. Allah Subhanahuwata’ala berfirman menceritakan peristiwa ini:
ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣﮤ ﮥ ﮦﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ
“Sesungguhnya Allah telah menolong
kamu (wahai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan
(ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena
banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu,
kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai.” (At-Taubah: 25)
Pasukan berkuda Bani Sulaim mulai tercerai-berai, lari meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu diikuti orang-orang Makkah dan yang lainnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
sendiri mengambil posisi di sebelah kanan sambil memanggil: “Wahai kaum
muslimin, ke sini! Aku Rasulullah. Aku Muhammad bin ‘Abdullah!” Tapi
tak ada yang menoleh. Orang-orang berlarian, kecuali beberapa gelintir
sahabat dan ahli bait beliau, seperti ‘Ali, ‘Abbas, Abu Sufyan, Fadhl
bin ‘Abbas, dan lainnya.
Di saat yang genting itu, orang-orang yang masih menyimpan dendam terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencoba mengambil kesempatan untuk membunuh beliau diam-diam.
Ibnu Ishaq mengisahkan dalam Sirahnya:
Syaibah bin ‘Utsman Al-Hajibi bercerita:
“Setelah pembebasan kota Makkah, aku ikut bersama Quraisy menuju
Hawazin, dengan harapan dapat membunuh Muhammad ( Shallallahu ‘alaihi wasallam),
agar akulah yang menuntaskan dendam Quraisy. Aku katakan: ‘Seandainya
tidak tersisa satupun Arab dan ajam melainkan mengikutinya, niscaya aku
tetap tidak akan mengikutinya, selama-lamanya’.”
Setelah kedua pasukan mulai saling serang, aku pun menghunus pedang sambil mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang masih di atas bighalnya. Ketika aku mulai mengayunkn pedang,
tiba-tiba berkelebat selarik api menyambar bagai kilat. Aku menutupi
mata karena takut melihat api tersebut. Rasulullah ( Shallallahu ‘alaihi wasallam) menoleh ke arahku lalu memanggilku: “Wahai Syaib, mendekatlah!”
Aku pun mendekati beliau lalu (beliau) mengusap dadaku dan berdoa: “Ya Allah, lindungilah dia dari setan.”
Sungguh, demi Allah. Saat itu juga
beliau berbalik menjadi orang yang lebih aku cintai dari penglihatan dan
pendengaranku serta diriku sendiri.
“Mendekatlah dan seranglah musuh-musuh
itu,” kata beliau. Aku pun maju menyerang dan sungguh, seandainya aku
bertemu ayahku waktu itu juga tentu aku tikamkan pedangku ke tubuhnya.
Akhirnya, aku pun selalu menyertai beliau sampai pasukan berkumpul kembali. Aku mendekatkan bighal kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga beliau duduk di atasnya. Beliau pun bergabung dengan pasukan muslimin.
Ketika aku masuk ke dalam tenda beliau,
beliau berkata kepadaku: “Wahai Syaib, apa yang diinginkan Allah untuk
dirimu lebih baik daripada apa yang engkau inginkan untuk dirimu
sendiri.”
Keberanian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
yang dalam peperangan selalu di barisan depan, berseru memanggil para
sahabatnya: “Wahai kaum muslimin, kemari! Aku Muhammad bin ‘Abdillah.”
Tetapi tidak ada yang menoleh
memerhatikan beliau. Setiap orang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri
dari serangan mendadak yang dilancarkan pasukan Hawazin. Kaum muslimin
betul-betul bercerai-berai. Jumlah banyak yang mereka banggakan tak
sedikitpun menolong.
Memang kenyataannya demikian. Kemenangan
dalam sebuah pertempuran bukan ditentukan oleh jumlah kekuatan dan
perbekalan serta keahlian perang semata. Allah Subhanahuwata’ala
berfirman:
ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌﮍ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.” (Al-Baqarah: 249)
Kemenangan dan pertolongan itu murni dari sisi Allah Subhanahuwata’ala.
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ
“Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Ali ‘Imran: 126)
Dengan diapit Abu Sufyan dan ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib radhiyallahu anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terus menuju ke arah barisan pertahanan musuh. Bahkan dengan sengaja beliau berseru lantang:
أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبٌ أنَاَ ابْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ
Aku adalah Nabi, bukan pendusta
Aku putra ‘Abdul Muththalib
Pernyataan ini membuat beliau menjadi
sasaran empuk panah dan tombak musuh yang menyerbu dengan derasnya.
Karena seruan beliau ini seolah-oleh memberitahukan kepada musuh siapa
dan di mana kedudukan beliau. Pasukan musuh yang memang berambisi
melenyapkan beliau dan menumpas dakwah beliau mengarahkan panah serta
tombak mereka kepada beliau.
Derasnya panah dan tombak musuh tidak
membuat luntur semangat beliau. Bahkan beberapa sahabat yang menyertai
beliau semakin merapat ke dekat beliau.
Kemenangan sesudah kekalahan
Allah Subhanahuwata’ala berfirman:
ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan
kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah
menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan
bencana kepada orang-orang yang kafir.” (At-Taubah: 26)
Melihat pasukan muslimin semakin lemah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ‘Abbas untuk berseru lantang: “Wahai ‘Abbas, panggil para pengikut Bai’at Ridhwan (Ash-habus Samurah).”
‘Abbas mulai berseru: “Wahai orang-orang
Anshar yang menampung dan membela. Wahai kaum Muhajirin yang bersumpah
setia di bawah pohon. Ini Muhammad masih hidup, kemari!”
‘Abbas mengulangi seruannya: “Wahai Ash-habus Samurah. Wahai penghafal Surat Al-Baqarah!”
Teriakan ‘Abbas menggema mengalahkan
dentingan pedang dan tombak yang beradu. Menembus ke dalam jantung
mereka yang mengerti arti panggilan itu.
Serta-merta dengan izin Allah
Subhanahuwata’ala, terbangkitlah semangat kaum muslimin. Bagaikan sapi
betina yang meradang melihat anaknya terancam bahaya, prajurit muslimin
berbalik menyambut seruan ‘Abbas: “Labbaik, labbaik.”
Mereka yang berada di atas kuda dan untanya berusaha membelokkan unta dan kudanya ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berada di tengah-tengah kepungan musuh.
Kuda dan unta itu menolak kembali
bersama tuannya. Akhirnya, mereka lemparkan pedang, tombak dan perisai
ke tanah, lalu mereka lepaskan tunggangan mereka. Sedangkan mereka
segera berlari mengikuti suara ‘Abbas menembus kepungan musuh terhadap
Rasulullah n.
Perlahan tapi pasti, mulai terkumpul kembali seratus orang di sekitar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
memungut beberapa butir kerikil lalu melemparkannya ke arah musuh
sambil berkata: “Wajah-wajah buruk.” Muka yang terkena lemparan menjadi
hitam. Perang semakin memuncak.
Ternyata pasukan musuh tidak berani berhadapan langsung dengan pasukan kaum muslimin. Keadaan pun berbalik.
Pasukan muslimin yang tadi melarikan diri, mulai merapat ke arah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pertempuran sengit semakin berkobar. Satu demi satu korban dari pihak musuh mulai bertambah. Ali bin ‘Abi Thalib radhiyallahu anhu menewaskan lebih dari 40 orang. Sementara Khalid bin Al-Walid radhiyallahu anhu terluka cukup berat.
Kali ini, Malik bin ‘Auf dan pasukannya
benar-benar kewalahan. Kekalahan mulai nampak. Mental pasukannya sudah
jatuh. Akhirnya mereka melarikan diri meninggalkan harta dan keluarga
mereka. Jatuhlah ke tangan kaum muslimin ribuan tawanan perang yang
terdiri dari anak-anak dan kaum wanita. Juga puluhan ribu ternak terdiri
dari 40.000 ekor unta dan 24 (ribu???) ekor kambing serta ribuan uqiah perak.
Jubair bin Muth’im menceritakan:
“Sungguh sebelum kekalahan musuh ini, aku melihat ada orang-orang yang
berperang seperti bayangan hitam yang turun dari langit, jatuh ke
tengah-tengah kami. Aku lihat semut hitam memenuhi perut lembah, dan
ternyata akhirnya mereka kalah. Aku tidak sangsi kalau mereka adalah
malaikat.”
Setelah menempatkan ghanimah tersebut di
tempat yang aman, mulailah kaum muslimin menyiapkan senjata untuk
mengejar musuh yang melarikan diri.
Kaum musyrikin yang dipimpin Malik bin
‘Auf berlari menuju Thaif dan menyusun pasukan di Authas. Ketika mereka
di Authas, Rasulullah n mengirim pasukan dipimpin oleh Abu ‘Amir
Al-Asy’ari. Terjadi pertempuran dan Abu ‘Amir terkena panah musuh dan
gugur sebagai syahid.
Bendera pasukan dipegang oleh Abu Musa
Al-Asy’ari. Dia pun memerangi mereka dengan hebat dan Allah
Subhanahuwata’ala pun memenangkan mereka.
Malik bin ‘Auf terus melarikan diri berlindung ke benteng Tsaqif.
Membagi ghanimah
Sengaja Rasulullah n menunggu beberapa
hari dengan harapan ada pihak Hawazin yang datang masuk Islam, meminta
tawanan dan harta mereka. Namun sudah ketetapan Allah Subhanahuwata’ala
bahwa ghanimah berupa harta itu menjadi hak kaum muslimin. Kemudian
mulailah Rasulullah n membagikan ghanimah yang diperoleh dalam perang
Hunain itu.
Beliau memberi harta itu kepada
orang-orang yang dilunakkan hati mereka kepada Islam. Abu Sufyan diberi
seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak. Dia berkata: “Putraku Yazid?”
Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Beri dia seratus ekor unta dan 40 uqiyah perak.” Abu Sufyan menukas: “Anakku, Mu’awiyah?”
Akhirnya Mu’awiyah juga menerima jumlah
yang sama. Setelah itu, beliau memberi Hakim bin Hizam seratus ekor unta
dan dia minta seratus lagi, beliau memberinya. Kemudian An-Nadhr bin
Al-Harits bin Kaladah menerima seratus ekor unta. Kemudian beberapa
orang lainnya dari pembesar Quraisy. Ghanimah yang dibagikan itu hampir
mencapai 14.850 ekor unta, yang diambil dari khumus.
Termasuk yang ada dalam ghanimah tersebut adalah Asy-Syaima`, saudara perempuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
satu susuan. Ketika dia dihadapkan kepada Rasulullah n, dia menerangkan
siapa dirinya. Rasulullah n bertanya kepadanya apa tanda buktinya.
Asy-Syaima` mengatakan bahwa di bagian punggungnya masih ada bekas
gigitan Rasulullah n ketika dia dahulu menggendong beliau. Setelah
beliau mengenalnya, beliau menghormatinya, membentangkan kainnya dan
mendudukkannya di atas kain itu lalu memberinya pilihan.
Asy-Syaima` masuk Islam dan memilih pulang ke kampung halamannya. Oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dia diberi sepasang budak yang kemudian mereka nikahkan. Wallahu a’lam.
Setelah itu beliau perintahkan Zaid bin
Tsabit menghitung kambing dan jumlah pasukan. Baru kemudian beliau
bagikan kepada pasukan. Setiap orang menerima empat ekor unta dan empat
puluh ekor kambing. Kalau dia dari pasukan berkuda, dia menerima 12 ekor
unta dan 120 ekor kambing.